Hiwalah;
Di antara akad ekonomi Syariah yang banyak dilakukan dalam transaksi keuangan, yaitu hiwalah. Dalam pengistilahannya, ada yang menggunakan istilah hiwalah ada juga yang menggunakan istilah hawalah. Secara garis besar, hiwalah atau hawalah merupakan bentuk konsep muamalah dalam pengalihan utang dari satu pihak kepada pihak lainnya. Untuk lebih lanjut, simak penjelasan berikut;
Pengertian Hiwalah
Secara bahasa, kata hiwalah mempunyai makna al-intiqaal (الانتقال) yang artinya berpindah. Sedangkan pengertian menurut istilah yaitu Naqlu Dainin Maliyyin Min Dzimmatin Ilaa Dzimmatin Ukhra yang artinya memindahkan utang dari satu pihak ke pihak lain atau dari satu nasabah ke nasabah lain. Pihak yang mengalihkan utang disebut dengan muhil dan pihak yang menerima pengalihan utang disebut dengan muhal ‘alaih. Berdasarkan pengertian tersebut, sederhananya, hiwalah adalah akad pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain. Dengan demikian, pihak yang berpiutang (orang yang memberikan pinjaman) tidak perlu menagih ke pihak pertama (yang berutang), tapi menagih ke pihak ketiga, yaitu orang yang menerima pengalihan utang (muhal ‘alaih).
Dengan adanya akad ini, syariat memberikan solusi terhadap perselisihan yang berkaitan dengan utang piutang. Sebab, adanya akad pengalihan utang bertujuan untuk mengantisipasi kredit macet atau ketidakmampuan pihak piutang (muhil) dalam membayar kewajibannya berupa utang kepada pihak piutang. Oleh karena itu, pihak ketiga, yang menerima pelimpahan utang, harus orang yang mampu membayarnya. Sehingga, perselisihan terkait dengan utang betul-betul terselesaikan.
Dasar Hukum Hiwalah
Pada dasarnya, setiap akad di dalam syariat Islam, pasti berdasarskan dalil-dalil yang ada dalam al-Quran atau al-Hadis. Jika tidak ada secara nash dari keduanya, minimal, ada qiyas dan ijma’ ulama sebagai solusi terhadap suatu permasalahan syariat Islam. Secara spesifik, dasar hukum hiwalah terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori (2287) dan Muslim (1564). Rasulullah SAW bersabda:
“مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ“
“Menunda (pembayaran) utang oleh orang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu (untuk membayar utang), maka hendaklah ia menerima pengalihan itu.”
Berdasarkan hadis tersebut, dapat kita simpulkan sebagai berikut:
- Hadis tersebut menjelaskan tentang larangan menunda dalam membayar utang Ketika sudah mampu untuk membayarnya. Jika menunda (pembayaran) utang padahal mampu untuk membayarnya, termasuk kategori zalim.
- Jika orang yang punya utang mengalihkan utangnya kepada orang lain yang mampu untuk membayarnya, maka pihak yang berpiutang hendaknya menerima pengalihan utang tersebut.
Selain keterangan hadis tersebut, terdapat ijma’ ulama yang berpendapat bahwa boleh melakukan akad hiwalah sebagai solusi dalam perselisihan utang jika memenuhi syarat-syarat berikut:
- Adanya kerelaan dari semua pihak tanpa ada paksaan, terutama pihak yang hendak menanggung utang tersebut.
- Utangnya bukanlah utang yang terdapat perselisihan.
- Pihak yang menerima pengalihan betul-betul mampu untuk membayar utang tersebut.
Rukun
Dalam proses akadnya, terdapat rukun-rukun hiwalah sebagai unsur penting dan wajib agar akad hiwalah sah. Apabila salah satu rukun saja tidak terpenuhi, akad menjadi tidak sah . Di antara rukun-rukun hiwalah, yaitu:
- Muhil (المحيل) – Pihak pertama: Yaitu pihak yang berutang kepada pihak lain (muhal) dan hendak mengalihkan utang tersebut kepada pihak yang menerima pengalihan utang (muhal ‘alaih). Adapun syarat muhil sebagai pihak yang mengalihkan utang, yaitu harus berakal sehat, sudah cukup umur (baligh), dan mengalihkan utangnya atas kehendak sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
- Muhal (المحال) – Pihak kedua: Yaitu pihak yang memberikan pinjaman kepada pihak pertama (muhil). Syarat muhal sama seperti muhil, yaitu harus berakal sehat, sudah cukup umur (baligh), dan menyetujui pengalihan utang tersebut secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
- Muhal’alaih (المحال عليه) – Pihak ketiga: Yaitu pihak yang menerima pengalihan utang dari muhil. Adapun syarat muhal ‘alaih sebagai pihak yang menerima pengalihan utang, yaitu harus berakal sehat, sudah cukup umur (baligh), dan memilik kemampuan finansial untuk membayarnya. Muhal ‘alaih juga harus hadir di majlis akad dan turut mengucapkan ijab qabul bersma dengan muhil dan muhal.
- Muhal bih (المحال به): Yaitu utang muhil kepada muhal yang hendak dialihkan ke muhal ‘alaih. Bentuk utangnya bisa berupa uang atau barang yang berharga.
- Shighot: Yaitu pernyataan dari pihak-pihak yang terlibat dalam akad pengalihan utang berupa ucapan tanda penyerahan akad (ijab) dan penerimaan (qabul) yang menjadi titik awal sahnya akad tersebut.
Syarat
Selain rukun-rukun hiwalah, terdapat beberapa syarat dalam melaksanakan akad hiwalah agar akad tersebut sah dan sesuai syariat. Adapun syarat-syarat akad hiwalah sebagai berikut:
- Semua pihak terlibat dalam proses ijab qabul akad hiwalah tersebut. Pihak pertama (muhil) harus rela memindahkan utangnya, pihak kedua (muhal) harus menyetujui pengalihan utang tersebut, dan pihak ketiga (muhal ‘alaih) harus menerima pengalihan utang tersebut.
- Semua pihak yang terlibat dalam akad hiwalah harus betul-betul rela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
- Muhal ‘alaih harus menyetujui pengalihan utang ini kepadanya dan berkomitmen untuk melunasi utang tersebut karena sudah menjadi tanggung jawabnya.
- Muhal bih, yaitu utang yang dialihkannya harus sejenis atau senilai. Misalnya, jika utang muhil kepada muhal berupa uang 5 juta, maka pelunasan utang yang hendak muhal alaih bayar yaitu berupa uang 5 juta juga. Tidak boleh jumlah utang yang hendak muhal ‘alaih bayar melebihi dari jumlah utang yang teralihkan untuk menghindari riba.
- Waktu jatuh tempo utang harus sama. Jika berbeda, maka akadnya tidak sah (menurut madzhab syafi’i)
Jenis-jenis Hiwalah
Secara garis besar, terdapat dua jenis akad hiwalah, di antaranya:
- Hiwalah al-Muqayyadah: Yaitu pengalihan utang dari pihak pertama (muhil) kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih) karena adanya ikatan utang. Misalnya Sofyan (muhil) mempunyai utang kepada Asep (muhal) sebesar 5 juta. Di satu sisi, Ali (Muhal ‘alaih) mempunyai utang sebesar 5 juta kepada Sofyan. Kemudian, Sofyan mengalihkan utangnya kepada Ali, sehingga Ali harus membayar utangnya kepada Asep. Pengalihan utang tersebut dari Sofyan ke Ali karena Ali mempunyai utang kepada Sofyan.
- Hiwalah al-Muthlaqah:Yaitu pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain bukan karena alasan utang. Misalnya Sofyan (muhil) mempunyai utang kepada Asep (muhal) sebesar 5 juta. Karena miskin, Sofyan tidak mampu membayar utang tersebut. Datang Ali yang mempu membayar utang tersebut. Karena merasa iba dan semua pihak setuju, Ali (Muhal ‘alaih) membayar utang Sofyan kepada Asep. Pengalihan utang dari Sofyan ke Ali bukan karena ikatan utang. Contoh pengalihan utang tersebut merupakan hiwalah muthlaqah.
Baca juga:
Perbedaan Asuransi Jiwa dan Asuransi Umum; Pengertian, Ciri-ciri, dan Jenisnya
Ekonomi Islam; Definisi, Karakteristik, Prinsip, serta Tujuannya