Dalam struktur bahasa Arab, selain fi’il dan fa’il, mubtada dan khabar, dan maf’ul bih, terdapat haal (الحال) yang berfungsi sebagai keterangan kondisi atau keadaan. Keberadaannya bertujuan untuk mengungkap kesamaran kondisi atau keadaan baik pelaku (fa’il), objek (maf’ul bih) atau lainnya. Untuk lebih jelas, simak penjelasan berikut:
Pengertian Haal
Menurut etimologi, haal (حال) mempunyai arti keadaan, kondisi, situasi, dan status. Menurut terminologi terdapat beberapa ulama yang memberikan definisi, di antaranya:
- Syekh ash-Shonhaji dalam kitab al-Ajurrumiyah, :
الاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الْمُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الْهَيْئَاتِ
“isim yang dinashabkan yang menjelaskan kondisi yang samar”
- Syekh Syarafuddin Yahya dalam kitab Nadham al-Imrithi:
الحَالُ وَصْفٌ ذُوْ انْتِصَابٍ آتِي * مُفَسِّرٌ لِمُبْهَمِ الْهَيْئَاتِ
“Haal adalah isim sifat yang beri’rob nashab yang menjelaskan keadaan shahib al-haal yang samar”
- Syekh Ibnu Malik dalam kitab Alfiyah:
الحَالُ وَصْفٌ فُضْلَةٌ مُنْتِصَبُ * مُفْهِمُ فِيْ حَالٍ كَفَرْدًا أَذْهَبُ
“Haal yaitu isim fudlah (bukan kalimat inti) yang beri’rob nashab yang memberi pemahaman tentang keadaan shahibu al-haal, seperti أَذْهَبُ فَرْدًا (saya pergi sendirian)
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut:
- Terbuat dari isim. Isim identik dengan kata benda baik berupa nama orang, nama tumbuhan, hewan dan lainnya.
- Beri’rob nashob (al-manshubu). Haal merupakan bagian dari isim-isim yang wajib beri’rob nashob (manshubat al-Asma), dan i’rob nashab identik dengan harokat fathah.
- Isim Fudhlah, yaitu isim yang bukan termasuk kedalam struktur inti kalimat bahasa Arab seperti fi’il fa’il atau mubtada khabar.
- Menjelaskan keadaan shahibu al-haal yang samar, bisa berposisi sebagai fa’il (subjek), maf’ul bih (objek) ataupun yang lainnya
Contoh dalam sebuah kalimat
Untuk memahami lebih lanjut, perhatikan contoh-contoh berikut:
جَاءَ عَلِيٌّ مُتَبَسِّمًا
“Ali datang sambil tersenyum”
وْأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا (QS. An-Nisa: 79)
“Kami mengutusmu sebagai Rasul untuk segenap manusia” (An-Nisa: 79)
Pada contoh pertama, yang berkedudukan sebagai haal yaitu lafadz متبسما. Lafadz tersebut memberikan penjelasan mengenai keadaan shahibu al-haal yang berkedudukan sebagai fa’il, yaitu lafadz عَلِيٌّ, bahwa Ali datang sambil tersenyum. Sedangkan pada contoh kedua, yang berkedudukan sebagai haal yaitu lafadz رسولا. Sama seperti pada contoh pertama, lafadz رسولا memberikan penjelasan terhadap keadaan shahibu al-haal. Akan tetapi, pada contoh kedua shahibu al-haalnya berkedudukan sebagai maf’ul bih, yaitu dlamir ك pada kalimat أرسلناك yang merujuk kepada Rasulullah SAW.
Syarat-syarat haal
Pada prakteknya, terdapat syarat-syarat khusus suatu kalimat bahasa Arab bisa berkedudukan sebagai haal. Dalam kitab al-Ajurrumiyah, Syekh ash-Shonhaji memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
وَلَا يَكُوْنُ الْحَالُ إِلَّا نَكِرَةً وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ وَلَا يَكُوْنُ صَاحِبُهَا إِلَّا مَعْرِفَةً
“Tidak ada haal kecuali dalam keadaan nakirah (makna umum), berada setelah kalimat sempurna, dan shohibu al-haal (pelaku haal) berbentuk isim ma’rifat”
Berdasarkan keterangan tersebut, syarat-syaratnya, yaitu:
1. Berupa isim nakiroh
Maksud isim nakiroh yaitu isim yang bersifat umum atau dengan kata lain tidak khusus atau tidak tentu (مَا دَلَّ عَلَى غَيْرِ مُعَيَّنٍ). Biasanya isim nakiroh terdapat tanwin di akhir kata. Akan tetapi, tidak setiap kalimat yang berakhiran tanwin termasuk nakiroh. Ketentuan bahwa kalimat masuk kategori nakiroh yaitu makna yang terkandung bersifat umum.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya contoh haal yang terbuat dari isim ma’rifat. Jika terjadi demikian, maka perlu adanya ta’wil terhadap kalimat tersebut. Perhatikan contoh berikut:
أَمَنْتُ بِاللهِ وَحْدَهُ
“Aku hanya beriman kepada Allah saja”
Struktur haal dalam contoh tersebut yaitu lafadz وحده. Lafadz tersebut berbentuk isim ma’rifat. Dengan demikian, perlu adanya ta’wil dengan lafadz nakiroh. Sehingga jika dita’wil takdirnya menjadi أَمَنْتُ بِاللهِ مُنْفَرِدًا
2. Berada setelah kalimat sempurna (ba’da tamami al-kalam).
Haal merupakan kata keterangan tambahan (fudlah) untuk menjelaskan keadaan shahibu al-haal yang masih samar. Posisinya berada setelah kalimat sempurna. Artinya, haal bukan bagian dari kalimat inti. Walau demikian, tidak bisa juga kita mengatakan bahwa haal tidak penting. Terdapat beberapa kalimat yang membutuhkan haal, bahkan jika tidak ada bisa menimbulkan kekeliruan.
Perhatikan contoh berikut:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong” (QS. Al-Isra: 37)
Pada contoh tersebut yang berposisi sebagai haal adalah lafadz مَرَحًا. Lafadz tersebut memberikan keterangan terhadap shohibu al-haal yaitu dlomir mustatir أَنْتَ yang berposisi sebagai fa’il yang terdapat dalam lafadz لَا تَمْشِ. Dalam contoh kalimat tersebut, jika tidak ada haal maka bisa menimbulkan pemahaman yang salah karena hanya berupa kalimat larangan untuk berjalan di muka bumi.
3. Shahibu al-haal berupa isim ma’rifat.
Shahibu al-haal merupakan sasaran dari keterangan keadaan oleh haal. Sebagai sasaran keterangan tentu saja shahibu al-haal harus berupa isim ma’rifat (tentu). Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, bisa saja shahibu al-haal berupa isim nakiroh, di antaranya ketika berposisi sebagai mubtada muakkhor dan khobarnya berupa jar majrur, contoh:
في الدَّارِ رَجُلٌ جَالِسًا “di rumah ada seorang lelaki sambil duduk”
Baca juga:
Istisna’ (الاستثناء); Struktur kalimat pengecualian dalam bahasa Arab
Munada (المنادى); Pengertian, Macam-macam, dan I’robnya
Tamyiz (التمييز) : Kata Keterangan benda dalam struktur bahasa Arab