Pengertian Tamyiz
Menurut bahasa, tamyiz (التمييز) mempunyai arti pembedaan atau perbedaan. Sedangkan menurut terminologi ahli nahwu, Syekh ash-Shonhaji dalam kitab al-Ajurrumiyah, memberikan definisi berikut:
الاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الْمُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الذَّوَاتِ
“isim yang beri’rob nashob yang yang menjelaskan dzat (benda) yang samar”
Berdasar definisi tersebut, secara sepintas, tamyiz dengan haal mempunyai kesamaan. Keduanya terbuat dari isim, beri’rob nashob, dan berperan sebagai keterangan suatu kata. Akan tetapi, yang membedakan keduanya, yaitu haal menerangkan keadaan shahibu al-haal yang samar sedangkan tamyiz menerangkan benda yang samar.
Dalam kitab Nadham al-Imrithi, Syekh Syarafuddin Yahya memberikan definisi sebagai berikut:
تَعْرِيْفُهُ اسْمٌ ذُوْ انْتِصَابٍ فَسَّرَ * لِنِسْبَةٍ أَوْ ذَاتِ جِنْسٍ قُدِّرَا
كَانْصَبَّ زَبْدٌ عَرْقًا وَقَدْ عَلَا * قَدْرًا وَلَكِنْ أَنْتَ أَعْلَى مَنْزِلَا
“Definisinya ialah isim yang beri’rob nashob yang menjelaskan nisbat atau dzat dari suatu jenis yang masih samar
Seperti lafadz اِنْصَبَّ زَيْدٌ عَرْقًا (Zaid bercucuran keringatnya), قَدْ عَلَا زَيْدٌ قَدْرًا (Zaid tinggi derajatnya) dan أَنْتَ أَعْلَى مَنْزِلَا (Kamu lebih tinggi kedudukannya)”
Macam-macamnya
Tamyiz terbagi dua, yaitu: tamyiz mufrod (dzat) dan tamyiz nisbat (muhawwal)
1. Tamyiz Mufrod (dzat)
yaitu tamyiz yang bertujuan untuk menjelaskan kesamaran dzat. Semuanya ada 4, yaitu:
– Berada setelah kata yang menunjukkan ukuran (maqdurat atau mamsuhat), contoh: عِنْدَهُ شِبْرٌ أَرْضًا (dia memiliki sejengkal tanah).
– Setelah kata yang menunjukkan makna takaran (mikyalaat), contoh: لَهُ قَفِيْزٌ بُرًّا (dia memiliki segenggam gandum).
– Setelah kata yang menunjukkan makna timbangan (mauzunat), contoh: لَهُ أَرْبَعَةُ كِيْلُوْ غِرَامٍ عَسَلًا وَتَمْرًا (dia mempunya empat kilogram madu dan kurma)
– Berada setelah kata yang menunjukkan makna bilangan (ma’dudaat), contoh: عِنْدِيْ تِسْعَةٌ وَتِسْعُوْنَ دِرْهَمًا (Saya memiliku sembilan puluh sembilan dirham)
2. Tamyiz Muhawwal (nisbat)
Yaitu tamyiz yang berasal dari struktur lain dan berpindah menjadi tamyiz. Jumlahnya ada 3, yaitu:
- Muhawwal ‘ani al-fa’il (perpindahan dari fa’il),
Contoh:
تَصَبَّبَ زَيْدٌ عَرْقًا (Zaid bercucuran keringatnya) asalnya
تَصَبَّبَ عَرْقُ زَيْدٍ (Keringat Zaid telah bercucuran)
- Muhawwal ‘ani al-maf’uli bih (perpindahan dari maf’ul bih)
Contoh:
وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُوْنًا (dan Kami (Allah) telah memancarkan mata air bumi) asalnya وَفَجَّرْنَا عُيُوْنَ الْأَرْضَ
- Muhawwal ‘ani al-mubtada (perpindahan dari mubtada)
Contoh:
عَلِيٌّ أَجْمَلُ مِنْكَ وَجْهًا (Ali, wajahnya lebih tampan darimu) asalnya
وَجْهُ عَلِيٍّ أَجْمَلُ مِنْكَ (Wajah Ali lebih tampan darimu)
Syarat-syaratnya
Ada beberapa syarat suatu kata bisa menjadi tamyiz dalam kalimat bahasa Arab. Syekh ash-Shonhaji, dalam kitab al-Ajurrumiyah, memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat tersebut, yaitu:
وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا نَكِرَةً وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ
“Tidak ada tamyiz kecuali dalam keadaan nakirah (makna umum), dan berada setelah kalimat sempurna”
Berdasarkan keterangan tersebut, syarat-syaratnya, yaitu:
- Berupa isim nakiroh. Maksud isim nakiroh yaitu isim yang bersifat umum, tidak khusus atau tidak tentu (ما دل على غير معين). Biasanya isim nakiroh berakhiran tanwin. Akan tetapi, tidak setiap kalimat yang berakhiran tanwin itu nakiroh. Ketentuan bahwa kalimat termasuk nakiroh berdasarkan maknanya yang umum.
- Berada setelah kalimat sempurna (ba’da tamami al-kalam). Kedudukan tamyiz sama seperti haal yang berperan sebagai kata keterangan tambahan (fudlah). Artinya, bukan bagian dari kalimat inti. Walau demikian, bukan berarti tidak berperan sepenuhnya. Ada kalimat yang jika tidak ada tamyiz tidak bisa difahami. Perhatikan contoh berikut:
عِنْدِيْ تِسْعَةٌ وَتِسْعُوْنَ دِرْهَمًا
“saya memiliki sembilan puluh sembilan dirham”
Yang menjadi contoh tamyiz yaitu lafadz دِرْهَمًا. Kata tersebut berada setelah kalimat sempurna berupa struktur mubtada khabar, yaitu عندي تسعة وتسعون (saya memiliki sembilan puluh sembilan). Dengan adanya kata دِرْهَمًا memberikan keterangan terhadap kalimat sebelumnya yang masih samar yang bermakna bilangan. Sehingga bisa difahami bahwa maksud bilangan sembilan puluh sembilan adalah jumlah dirham yang dimiliki. Jika tidak ada tambahan lafadz درهما sebagai kata keterangan tambahan maka maksud dari kalimat tidak bisa difahami dengan sempurna.
Baca juga:
Istisna’ (الاستثناء); Struktur kalimat pengecualian dalam bahasa Arab
Munada (المنادى); Pengertian, Macam-macam, dan I’robnya
Haal (الحال) : Kata Keterangan Keadaan dalam struktur bahasa Arab