Rebo wekasan
Hari ini, tepatnya hari rabu tanggal 4 september 2024 merupakan hari rabu terakhir yang ada di penghujung bulan safar 1446 H. Banyak Masyarakat yang meyakini bahwa hari rabu tersebut merupakan Rebo Wekasan, yang mereka anggap sebagai hari yang membawa sial atau malapetaka.
Awal mula munculnya dugaan mengenai rebo wekasan sebagai hari sial dan bulan safar sebagai bulan sial sudah ada sejak jaman jahiliah kuno di kalangan bangsa Arab. Ironisnya, anggapan tersebut terus berlanjut hingga saat ini terutama di kalangan umat Islam. Munculnya keyakinan tersebut didukung oleh penjelasan Syekh Abdul Hamid Quds mengenai gambaran Rebo Kasan/ Rebo Wekasan (Rabu Wekasan). Dalam kitabnya, Kanzun an-Najaahi wa as-Suruur fi Fadhaaili al-Azminati wa as-Shuhuur, beliau menjelaskan bahwa banyak para wali Allah yang Allah berikan kelebihan berupa pengetahuan hal-hal spiritual yang tinggi (kasyaf), mengatakan bahwa “Allah swt menurunkan 320.000 macam balai ke muka bumi pada setiap tahunnya, dan pertama kali turun pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Oleh karena itu, banyak Masyarakat yang melakukan amalan-aman tertentu yang menjadi tradisi sejak malam Rebo Wekasan hingga siang harinya. Masih bersumber dari kitab tersebut, berikut amalan-amalan yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat:
Shalat rebo wekasan
Melaksanakan shalat 4 rakaat (dua kali salam) dengan niat shalat mutlak dan melaksanakannya tidak berjama’ah. Dalam shalat tersebut, setiap raka’atnya membaca surat al-Fatihah (1x), Surat al-Kautsar (17x), Surat al-Ikhlas (5x), Surat al-Falaq (1x), dan Surat an-Naas 1x.
Berdo’a
Setelah melaksanakan shalat rebo wekasan, terdapat do’a khusus yang dibacakan setelahnya. Do’a tersebut sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، اللَّهُمَّ يَاشَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَاعَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اللهم بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، وَصَلىَّ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Memperbanyak istighfar
Memperbanyak Istighfar (meminta ampun kepada Allah SWT). Seseorang yang beristighfar berarti dia memohon ampun kepada Allah swt karena khilaf dan dosa yang telah diperbuat di masa lalu baik itu dosa besar atau dosa kecil. Sejatinya, Allah memerintah kita untuk beristigfar seperti di dalam Al-Qur’an Surat Hud: 90 berikut:
وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَوَدُودٌ
“Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Mencintai.”
Keterangan tersebut diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad saw berikut:
مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang memperbanyak istighfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka” (H.R. Ahmad).
Membaca al-Qur’an
Sebagaimna kita ketahui bahwa Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat Islam yang Allah SWT wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Atas dasar tersebut, kita sudah semestinya untuk selalu membaca Al-Qur’an selain karena sebagai pedoman hidup juga karena pahala besar bagi yang membacanya.
Pahala besar membaca al-Qur’an berdasarkan sabdi Nabi SAW berikut:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُوْلُ آلَم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامُ حَرْفٌ وَمِيْمُ حَرْفٌ
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan, dan setiap satu kebaikan Allah balas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam mim (آلم) itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, laam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR Tirmidzi)
Lantas apakah betul Rebo Wekasan sebagai hari sial?
Mengenai hal tersebut, terdapat keterangan Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang riwayat Imam Bukhori berikut:
لَا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هَامةَ ولا صَفَرَ وفِرَّ من الْمَجْذُومِ كما تَفِرُّ من الأَسَد
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada ramalan buruk, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada sial bulan Safar, dan larilah kamu dari penyakit kusta seperti kamu lari dari singa.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut sangat jelas bahwa tidak ada waktu tertentu yang mengakibatkan kesialan, baik itu bulan sial, bulan safar misalnya, ataupun hari sial, seperti Rebo Kasan/Rebo Wekasan (Rabu Wekasan) ini. Kita sebagai umat Islam harus yakin dengan hadis tersebut. Jika pun ada kesialan yang menimpa kita, pastilah itu karena tingkah laku kita sendiri di masa lampau.
Kemudian, bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi Rebo Wekasan yang begitu menjamur di kalangan umat Islam?
Dalam kitab Faidh al-Qadr, Imam Abdurrauf al-Munawiy memberikan jawabannya dengan sangat bijak. Beliau menjelaskan bahwa amalan-amalan pada Rebo Wekasan boleh saja mengerjakannya, namun harus atas dasar niat yang baik dan benar. Maksudnya, mengerjakan amalan tersebut dengan niat karena Allah SWT dan mengharapkan perlindungan-Nya, bukan karena keyakinan bahwa Safar adalah bulan sial dan Rabu terakhirnya merupakan hari sial. Karena sejatinya, kapan pun dan di manapun, kita harus selalu berharap perlindungan dari Allah SWT. Terkadang kita tidak sadar terhadap dosa dan khilaf di masa lampau yang membuat Allah murka sehingga hal tersebut mengakibatkan bencana di masa yang akan datang. Na’udzubillah. Wa Allahu A’lam